Setiap
manusia memiliki titik jenuh yang mengakibatkan kemunduran dalam bersemangat
,dibutuhkan sebuah aktifitas yang tak monoton dan berbeda tuk antipasi hal itu
diantara hal yang dapat mengasah kembali semangat kita dan mengasah kembali
kapak tumpul kita adalah dengan bertamasya.
Ya dengan melakukan perjalanan ke luar niscaya akan membuka cakrawala baru,
memperbarui semangat kita dan tentunya bisa menjadi ladang pahala yag
menjanjikan
sebelum kita menentukan tour perjalanan tamasya alangkah baiknya kita
memperhatikan hukum-hukum berikut ini agar tamasya kita lebih berbarakah
1. Tidak diperbolehkan safar
dengan maksud mengagungkan atau beribadah tempat tertentu kecuali tiga masjid. Dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:
لا
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاري، رقم 1132 ومسلم،
رقم 1397)
“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga
masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa saal dan
Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)
Hadits ini menunjukkan akan haramnya promosi wisata
yang dinamakan Wisata Religi ke selain tiga masjid, seperti ajakan
mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan
kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus
dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. Dalam ajaran Islam
tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan ibadah di dalamnya
sehingga menjadi tempat yang diagungkan selain tiga tempat tadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Aku
pergi Thur (gunung Tursina di Mesir), kemudian aku
bertemu Ka’b Al-Ahbar, lalu duduk bersamanya, lau beliau menyebutkan hadits
yang panjang, kemudian berkata, "Lalu aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah
Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu datang?" Aku menjawab,
"Dari (gunung) Thur." Lalu beliau mengatakan, "Jika
aku menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka (akan melarang) mu
pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke Masjidil Haram,
Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR. Malik dalam
Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam
Shahih An-Nasa’i)
Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju tempat
suci selain tiga tempat ini. Hal itu bukan berarti dilarang
mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara muslim, karena kunjungan kesana
dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar
dengan niat seperti itu. Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu
diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan
terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. Yang
keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci
agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau
lainnya yang serupa.
2. Ada juga dalil yang
mengharamkan wisata seorang muslim ke negara kafir secara umum. Karena
berdampak buruk terhadap agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur
dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apab ila tidak
ada keperluan dalam safar tersebut seperti untuk berobat, berdagang
atau semisalnya, kecuali Cuma sekedar bersenang senang dan rekreasi. Sesungguhnya
Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan
penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir.
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Tidak boleh
Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat
bercampur dan menetap di tengah orang kafir di antara mereka. Akan
tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara
mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk
belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang,
kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir
dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di
negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam. Adapun kalau
safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak
membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat
dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan. (Al-Muntaqa
Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)
3. Tidak diragukan lagi
bahwa ajaran Islam melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman
keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di pinggir
pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau
juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim
diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya)
dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: “Tidak
diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal
itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang
untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/332)
Bagaimana dengan wisata yang menganjurkan kemaksiatan dan
prilaku tercela, lalu kita ikut mengatur, mendukung dan menganjurkannya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah juga berkata: “Kalau
wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan
kemunkaran serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada
Allah dan menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena
Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah, 26/224)
4. Adapun berkunjung ke
bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno , jika itu adalah
bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab
kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak dibolehkan menjadikan
tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.
Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, ada di kota
Al-Bada di provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang
diukir di gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal
kaum Nabi Syu’aib alaihis salam. Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil
bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak ada
dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi orang
yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud mengambil
pelajaran dan nasehat?
Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal bahwa
tempat tinggal bangsa Madyan yang diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib
alaihis shalatu was salam berada di arah barat daya Jazirah Arab yang
sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika
itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan
sekedar melihat-lihat. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika
melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan)
beliau bersabda: “Janganlah kalian memasuki tempat tinggal orang-orang
yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa
mereka, kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau
menundukkan kepala dan berjalan cepat sampai melewati
sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika menjelaskan
manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di antaranya adalah
barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai dan turunkan azab,
tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya, tetapi hendaknya dia
mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat. Tidak boleh memasukinya
kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran. Dengan landasan ini,
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di wadi (sungai) Muhassir antara
Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah membinasakan pasukan gajah dan
orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam
menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup negeri Tsamud dan
negeri lainnya yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan
mereka." (Fathul Bari, 6/380).
Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi Arabia
jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu Ihyai Diyar Tsamud (hukum
menghidupkan perkampungan Tsamud).
5. Tidak dibolehkan juga
wanita bepergian tanpa mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya
wanita pergi haji atau umrah tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk wisata
yang di dalamnya banyak tasahul (mempermudah masalah) dan campur baur yang
diharamkan.
6. Adapun mengatur wisata
untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau
diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai
keluar. Akan tetapi keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati
agama Islam, akhlak umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang
mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak
boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai
untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya
dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau
spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua
tempat suci; Mekkah dan Madinah
0 komentar:
Leave a Reply